Ayo Bangkit! Kita Jenius Dalam Bidang Masing-Masing! Percayalah!

 Halo teman-temanku yang budiman. Hanatta merasa bersalah karena lama nggak posting apapun di blog ini. Merasa bersalah karena ... karena merasa bersalah ... karena ... astaga, muter-muter ya? Udah ah.


Ya, sebenernya aku merasa bersalah karena menipu diriku sendiri. Aku udah janji untuk posting berbagai hal random yang mungkin bisa bermanfaat meskipun hanya untuk satu orang, tapi aku justru jarang posting begini. Sekalinya posting, langsung spam. Tapi kalau sedang kosong melompong nggak ada ide, yaudah, los.


Bagaimana kabarnya hari ini? Sudah makan belum? Makan dulu sana kalau belum makan. Masih bernafas ya? Bagus. Apapun yang terjadi, tetaplah baca tulisanku ini. Jangan mencoba mencuri nafas karena tulisanku terlalu bagus untuk ditinggal barang satu detik pun, HAHAHAHA, maaf ya ampun khilaf, sekali-kali ngelantur nggak papa ya? ๐Ÿ™๐Ÿคฃ


Oke, kali ini aku mau bahas tentang sesuatu yang sebenarnya mengganjal untuk diriku sendiri, dan aku membagikannya disini supaya, ya, kalau ada yang punya perasaan yang sama, mungkin kita bisa menyatukan perasaan. Duar.


Mulai aja ya?

Serius ini.

Jangan nangis.

Hahaha, nggak bakal,  bercanda doang aku.


Kalian yang merasa diri kalian kurang pintar, yuk coba kita tilik bagaimana perasaan si pintar sebenarnya!


Menurut kita orang pintar itu selalu bahagia hidupnya bukan? Kadang kalau di sekolah ada teman yang pintar pasti sering dibilang; ah kamu mah mau jadi apa aja pasti bisa, kamu mah mau kuliah di mana aja bisa. Kamu mungkin iri dengan orang itu? Bisa iya, bisa juga enggak.


Ada orang yang pernah cerita ke aku. Dia pinteeer banget. Dia beneran bisa jadi apapun yang dia mau, dan dia juga bisa nerusin pendidikannya dimanapun. Tapi tentunya dengan effort yang sesuai loh ya (seenggaknya dia kan pinter jadi effort kaya gitu kecil banget buat dia).


Dia waktu itu cuma mau ambil jurusan yang dia suka waktu mau masuk bangku perkuliahan. Tapi sayangnya keluarganya nggak mendukung. Keluarganya menilai jurusan yang dipilihnya terlalu rendah buat otaknya yang brilian. Setelah sekian lama berunding buat menentukan jalan tengah, akhirnya dia tetap kalah—dia masuk ke jurusan dengan pamor yang lumayan tenar di masyarakat. Dia tahu, diluar sana setiap orang yang ngelihat dia bakal beranggapan kalau dia itu punya masa depan yang cemerlang! Otak brilian dan jurusan yang mentereng di universitas yang bagus juga. Kurang apalagi coba?


Tapi, jauuuh di lubuk hatinya, dia mengaku bahwa sebenarnya dia ngerasa terkungkung, terpenjara dalam seluruh pikiran positif orang lain tentangnya. Hidupnya hanya tentang bagaimana menjaga citra diri agar tetap terlihat cerdas dan berwibawa. Dia nggak ada waktu buat seneng-seneng di masa mudanya. Semua serba tertata dan dia beneran sedih harus menjalani hidupnya dengan keadaan seperti itu.


Mari kita syukuri keadaan kita. Meskipun kita nggak sepintar dia yang aku ceritakan, tapi kita masih punya banyak teman dan waktu yang bisa kita hargai. Percayalah, meskipun kita nggak pintar pelajaran, kita pasti cerdas di bidang yang lain. Bidang apa itu? Pasti ada. Kita hanya perlu menjajaki diri kita lebih dalam—hingga kita menemukan siapa diri kita—siapakah diriku?


Kamu menemukannya, teman? 

Sampai jumpa di konten selanjutnya, aku mengantuk. Baibai. Aku sayang kalian. ๐Ÿ’š

Happy with me, happy reading. ๐Ÿ‰

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mata Kuliah pada Semester 1?!—Ilmu Gizi UNSOED

Run, Run, Run! Pesawat Hampir Lepas Landas!

Bagian Sembilan