Ayo Menyerah Aja, Ngapain Bangkit?

 Teman-teman budiman apa kabar?


Sebagian orang mendapatkan kesempatan untuk memilih diantara beberapa pilihan, dan sebagian lainnya tidak memiliki kesempatan indah itu. Orang-orang dengan kekurangan pada hidupnya biasa merasakan ketidakadilan itu. 


Awalnya terasa mudah, menyenangkan, rasa-rasanya jalan itu adalah jalan terbaik yang dunia berikan untuk diri kita. Seolah nggak ada jalan lain, semua benar-benar buntu. Dan nyatanya memang buntu. Karena kekurangan kita pada satu atau beberapa sisi, banyak jalan dengan memaksakan diri lantas memblokir langkah kita, nggak bisa menuju kemanapun kecuali satu jalan yang merupakan sisa.


Sedih? Nggak. Awalnya nggak ngerasa sedih, itu jalan satu-satunya. Kita saat itu tahu, jalan lain sudah tertutup untuk kita, terblokir oleh entah kendala apa, dunia begitu kejam memberikan kita sisa satu jalan yang mau nggak mau harus kita lewati.


Seumur hidup.


Berada di jalan itu.


Jalan yang dengan amat terpaksa kita jalani sebab jalan lainnya diblokir paksa oleh kekurangan yang dihadiahkan kepada kita tanpa sebab.


Kita menginginkan hal lain setiap hari, membenci jalur tempat kita berpijak setiap saat. Membenci dunia, membenci orang lain, bahkan benar-benar membenci diri sendiri.


Lelah tetapi bukan untuk mengejar mimpi kita sendiri. Kita lelah mempertahankan kehidupan yang sebenarnya nggak layak untuk dipertahankan.


Terombang-ambing, berjalan di atas titian milik orang lain. Siapa yang akan bertahan? 


Derai tangis setiap hari, siapa yang akan tahu? Orang lain hanya akan melihat kita dengan pencapaian kita, angka, status, dan hal-hal kasat mata lainnya. Mereka nggak pernah bisa lihat tuh kalau nurani kita berontak. Nggak pernah.


Selalu bahagia wahai kawanku, bahagia meski berada di atas titian orang lain, bahagia meski di atas permintaan orang lain, bahagia meski kita hanya dipaksa bertahan hidup tanpa mempertahankan mimpi kita.


Terkadang kita bahkan ingin bersembunyi, ya, apa boleh buat? Aku nggak punya mimpi, makanya aku jalani aja apapun yang dunia beri untukku. Bohong, pembohong. Saking sakitnya diri kita, nurani bahkan bisa berbohong, tanpa berkedip, bernafas, bersedih pada satu detik saat kebohongan itu muncul.


Bagus sekali.


Hidup dalam kepura-puraan. Nggak, bukan kita yang minta. Tangis setiap hari itu, tangis yang terlahir karena sebab rasa tertinggal di antara yang lainnya, padahal kita nggak perlu menangisinya. Bohong kalau kita menangisinya. Itu bukan mimpi kita bukan? Atau sekarang kita sudah pandai membohongi diri sendiri? Menerima sebagai sebuah penghiburan? Iya, iya, terserah saja.


Mimpi mimpi mimpi mimpi mimpi. Kita kehilangan semuanya saat sebenarnya satu kali saja langkah kaki kita melangkah ke jalur yang benar maka kita akan meraihnya. Bodoh sekali kita dulu harus mangkir dan memutar balik badan kita. Namun apa boleh buat? Ini jalan satu-satunya. Jalan lainnya sudah diblokir, hehe, diblokir oleh kekurangan yang dihadiahkan kepada kita karena kita terlahir sebagai orang yang akan memainkan peran itu. Sedih tetapi siapa yang harus kita gugat? Menggugat diri sendiri saja hingga kita bisa meninggalkan suasana menjenuhkan ini? Bisa. Lalu mimpi yang sebenarnya juga nggak akan tercapai, karena kita mantan narapidana.


Sedih rasanya melihat orang lain berjalan berdarah-darah di jalannya sendiri. Bukan, kita tidak mengasihani berapa liter darah yang keluar, tetapi menangisi bagaimana bisa ia berjuang dengan literan darah itu untuk meraih mimpinya, sedangkan kita menghabiskan literan darah, bahkan isi sumsum tulang kita untuk hal yang tak semestinya nggak perlu kita perjuangkan?


Hidup ini jahat, penipu, pembohong, egois, seenaknya sendiri.


Dalam menjalani mimpi orang lain ini, kita seringkali tertinggal dengan kawan seperjuangan yang memang berada tepat di jalannya, atau mungkin telah mengalami penerimaan jalan dengan begitu lapangnya—bagus. Ketika dihadapkan pada suatu masalah, timbul pertanyaan, kenapa harus aku yang mengalami ini? Diantara milyaran orang lainnya, kenapa harus aku?! Aku kuat? Aku mampu melewatinya? Omong kosong.


Itulah awal mula pemikiran panjang dan tangisan pada hari itu.


Bodoh dan cerdas pada saat yang bersamaan. Tafsirkan sendiri kalimat ini kalau kamu memang penasaran.


Ya. Itu. 


Sudah selesai mengaduk seluruh isi hati kita? 


Ayo lanjut membohongi diri sendiri lagi.


Banyak hal yang patut kita syukuri di balik itu semua. Seulas senyum dari seseorang, sepotong "iya aku akan membantumu," dari teman dekat, atau "makan dulu!" dari orang yang mempedulikan kita akan membuat segalanya menjadi lebih baik. Emotikon ☺ di akhir sebuah kalimat yang dikirimkan kepadamu setelah tanda titik dalam kata-kata yang tulus akan membuatmu tersenyum. Ya, ayo kita senyumin aja dunia ini. Dunia suka usil, kata seseorang. Dan kalau kamu sekarang merasa sedang dibuat kesal olehnya, ingat lagi betapa banyak rasa senang yang kamu dapat selama bertahun-tahun ini. 


Bertahanlah, hidup nggak akan lama-lama amat. Ayo hidup dengan baik, lalu kembali ke sana dengan baik juga. Jangan menyerah. Kamu boleh menangis, marah, berontak, mengumpat, lakukan apapun yang ngebuat kamu tenang. Tapi ingat, setelah itu, masih banyak hal yang menunggu kamu. 


Aku, kamu, kita, ilmuwan, dokter, tokoh publik, semuanya. Kita semua ngerasain hal yang sama. Rasa jatuh, rasa sedih, terpuruk, ingin menyerah. Semuanya pernah merasakan hal itu. Yang perlu kita lakukan jika kita benar-benar sudah nggak punya harapan adalah dengan menjaga agar oksigen tetap masuk ke dalam paru-paru. Ini gila, tapi di dunia ini juga nggak ada orang yang benar-benar waras kecuali anak bayi.


Aku? Aku juga gila. Saat membuat tulisan ini aku juga menggila. Tapi aku berharap kita bisa saling menguatkan. Apapun yang kalian alami sekarang, jangan pernah ngerasa sendiri, karena memang kalian sendiri. Nggak, bercanda. Jangan pernah ngerasa sendiri, ada aku. Kapanpun kalian mau cerita, emailku selalu terbuka untuk kalian. Kalau kita bisa ketemu, kamu bahkan bisa bersandar di pundakku. Kalo situasi normal ya, kalo masih pandemi mah ogah aku. 


Cringe banget Ya Tuhan.


Tapi nggak papa, ini buat kita semua.


Semoga perasaanmu hari ini membaik, ayo lanjut membohongi dunia. Buat dia kesal karena kita nggak menyesal, buat dia marah karena kita nggak menyerah. Dunia ini harus dilawan kalau nggak bisa dikawan, biar nggak makin ngelunjak. Masa iya dunia, suasana, dan segala rasa yang merupakan benda mati nggak bisa dikendalikan oleh Homo sapiens seperti kita? Ah, yang benar saja.


Sampai jumpa di postingan selanjutnya. Happy reading! ♡


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mata Kuliah pada Semester 1?!—Ilmu Gizi UNSOED

Run, Run, Run! Pesawat Hampir Lepas Landas!

Bagian Sembilan